Dari Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kesayangannya radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku hafal (sebuah hadits) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Tinggalkanlah yang meragukanmu lalu ambillah yang tidak meragukanmu.’” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih) [HR. Tirmidzi, no. 2518; An-Nasa’i, no. 5714. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]
Kaidah Fikih Keraguan
Yakin tidak bisa dikalahkan dengan keraguan dalam shahih Bukhari-Muslim disebutkan hadits dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ia pernah mengadukan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai seseorang yang biasa merasakan sesuatu dalam shalatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Janganlah berpaling hingga ia mendengar suaraatau mendapati bau.” (HR. Bukhari, no. 177 dan Muslim, no. 361). Imam Nawawi rahimahullah berkata mengenai hadits di atas, “Makna hadits tersebut adalah ia boleh berpaling sampai ia menemukan adanya suara atau mencium bau, dan tidak mesti ia mendapati kedua-duanya sekaligus sebagaimana hal ini disepakati oleh para ulama kaum muslimin (ijmak). Hadits ini menjadi landasan suatu kaidah dalam Islam dan menjadi kaidah fikih, yaitu sesuatu tetap seperti aslinya sampai datang suatu yang yakin yang menyelisihinya. Jika ada ragu-ragu yang datang tiba-tiba, maka tidak membahayakan.” (Syarh Shahih Muslim, 4:47).
Contoh Kaidah Fiqih Keraguan
- Siapa yang yakin dalam keadaan suci, kemudian dalam keadaan ragu-ragu datang hadats, maka ia tetap dalam keadaan thaharah (suci), baik hal ini didapati ketika shalat atau di luar shalat.
- Siapa yang berhadats pada Shubuh hari, kemudian ia ragu-ragu setelah itu apakah ia sudah bersuci ataukah belum, maka ia dihukumi seperti keadaan pertama yaitu ia dalam keadaan hadats.
- Barangsiapa yang pada sore hari menjelang matahari tenggelam telah berbuka puasa, padahal ia masih ragu akan tenggelamnya matahari, maka batal puasanya.
- Seseorang membeli air dan mengklaim setelah itu bahwa air tersebut najis. Lalu si penjual mengingkarinya. Maka yang jadi pegangan adalah perkataan si penjual.
- Jika seseorang bepergian jauh ke suatu negeri dan tidak lagi didengar kabarnya dalam jangka waktu yang lama. Lalu muncul keraguan apakah ia masih hidup. Padahal tidak ada berita yang menunjukkan kematiannya, artinya belum datang suatu yang yakin.
- Jika seseorang yakin di pakaiannya terdapat najis, namun tidak diketahui manakah tempatnya, maka dalam rangka kehati-hatian, ia menggosok seluruh bagian dari pakaiannya.
- Tidak wajib bagi pembeli menanyakan kepada penjual mengenai barang dagangannya apakah barang tersebut miliknya atau bukan.
- Kehati-hatian dalam rangka ragu-ragu dalam masalah menilai suatu air, bukanlah hal yang disunnahkan (dianjurkan) bahkan tidak disunnahkan sama sekali untuk menanyakannya. atau barang tersebut barang curian ataukah bukan.
- Ada seseorang yang telah selesai shalat, lantas ia ragu-ragu apakah mengerjakan shalat Zhuhur tadi tiga ataukah empat raka’at. Keragu-raguan seperti ini tidak perlu diperhatikan. Asalnya shalatnya sah. Selama tidak datang yakin kalau ia mengerjakan shalat tiga raka’at. Kalau memang yakin baru tiga raka’at, maka ia menambah lagi raka’at yang keempat selama jedanya tidak lama, lalu ia salam, dan kemudian tutup dengan sujud sahwi.
Hal yang Meragukan Terkait dengan Keberadaan Hati
Sesungguhnya kejujuran itu menghadirkan ketenangan tetapi dusta mendatangkan keraguan.
Dalam hadis arba’in mengatakan, “sesungguhnya perkara yang halal itu jelas dan perkara yang haram itu jelas. Namun, diantaranya ada perkara subhat yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa yang memelihara diri dari subhat, mereka telah menyelamatkan dirinya dan agamanya”. Bila orang tidak menjaga diri dari subhat, maka mereka akan gampang terjerumus pada keharaman.
Kiat-Kiat Meninggalkan Keraguan
- Ilmu
- Yakin
Definisi Sujud Syahwi
Sujud Sahwi adalah bentuk penghinaan kepada syaitan. Sahwi secara bahasa bermakna lupa atau lalai. Sujud sahwi secara istilah adalah sujud yang dilakukan di akhir shalat atau setelah shalat untuk menutupi cacat dalam shalat karena meninggalkan sesuatu yang diperintahkan atau mengerjakan sesuatu yang dilarang dengan tidak sengaja. Hadits Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, dan tidak mengetahui berapa rakaat dia shalat, tiga ataukah empat rakaat maka buanglah keraguan, dan ambilah yang yakin. Kemudian sujudlah dua kali sebelum salam. Jika ternyata dia shalat lima rakaat, maka sujudnya telah menggenapkan shalatnya. Lalu jika ternyata shalatnya memang empat rakaat, maka sujudnya itu adalah sebagai penghinaan bagi setan.” (HR. Muslim no. 571)
Contoh sujud sahwi yang pernah diajarkan oleh Rasulullah, Ketika itu Raulullah melaksanakan shalat ashar berjamaah yang berjumlah 4 rakaat, namun beliau hanya mengerjakan 2 rakaat saja. Hingga ada sahabat Dzulyadain berkata “Ya rasulullah, apakah engkau lupa atau kah sholat tersebut di qoshor?”. Hingga itu, Rasulullah melanjutkan shalat jamaahnya 2 rakaat seperti sholat di awal tadi, namun ada perbedaan disini yaitu Rasulullah melakukan sujud lebih lama. Menurut Imam Bukhari dan Muslim, beliau melakukan sujud sahwi setelah salam.
Sujud Sahwi Sebelum ataukah Sesudah Salam?
Shidiq Hasan Khon rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tegas yang menjelaskan mengenai sujud sahwi kadang menyebutkan bahwa sujud sahwi terletak sebelum salam dan kadang pula sesudah salam. Hal ini menunjukkan bahwa boleh melakukan sujud sahwi sebelum ataukah sesudah salam. Akan tetapi lebih bagus jika sujud sahwi ini mengikuti cara yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sebelum salam, maka hendaklah dilakukan sebelum salam. Begitu pula jika ada dalil yang menjelaskan bahwa sujud sahwi ketika itu sesudah salam, maka hendaklah dilakukan sesudah salam. Selain hal ini, maka di situ ada pilihan. Akan tetapi, memilih sujud sahwi sebelum atau sesudah salam itu hanya sunnah (tidak sampai wajib).”
Narasumber
Ust. Jufri Ubaid, S.Ag