Resume Kajian Adab Sunday Februari 2021: Hadits Arbain ke-20 (Keutamaan Memiliki Sifat Malu)

عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِي البَدْرِي – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ” رَوَاهُ البُخَارِي.

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya di antara perkataan kenabian terdahulu yang diketahui manusia ialah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!” (HR. Bukhari)

Berdasarkan hadist ini kita bisa simpulkan bahwa, betapa pentingnya seseorang itu memiliki rasa malu. Rasa malu untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Orang yang memiliki iman tandanya ia memiliki rasa malu. Jika manusia tidak memiliki rasa malu, maka bisa dikatakan manusia itu seperti hewan, karena hewan tidak memiliki akal. Dalam Quran surat Al – A’raf ayat 179 : “Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah)”. Ayat ini menjelaskan bahwasanya yang akan menjadi penghuni neraka adalah orang-orang lalai dan tidak mau menggunakan akal pikiran mereka untuk memahami hakikat dari segala sesuatu, tidak mau memanfaatkan mata dan telinga mereka baik untuk menyimpulkan segala yang diketahuinya. Satu hal yang perlu kita ketahui bahwa sifat malu adalah warisan para nabi dahulu, sehingga jika kita merasa umatnya maka kita harus memiliki sifat yang sama dengan nabi kita.

Rasa malu merupakan bentuk keimanan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Malu merupakan bagian dari keimanan.” Bahkan rasa malu ini juga dipuji oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

Perasaan malu bisa terjadi pada siapapun, contoh nya pada seorang suami. Ketika ia tidak bekerja, dia memiliki rasa malu pada istrinya karena tidak mampu menafkahinnya. Sama hal nya dengan seorang anak pada orang tua, jika seorang anak memiliki rasa malu,  ia tidak akan durhaka kepada orang tua nya. Dalam quran surat An-Nur ayat 30-31 bicara soal Ikhwan dan akhwat menjelaskan tentang orang-orang yang beriman hendaknya menahan pandangan dari apa yang diharamkan dan memelihara kemaluan dari hal-hal yang diharamkan. Di ayat ini mengajarkan kita untuk menundukkan pandangan agar tidak melakukan maksiat.

Allah mengajarkan kita untuk selalu berharap kepada Nya bukan kepada makhluk. Karena pertolongan itu sesungguhnya datang dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Ada suatu kisah dari Nabi Syuaib Alaihissalam yang mana ia mengatakan bahwa Allah lah yang akan menyelamatkanmu. Namun, ketika hamba yang diutus oleh Allah untuk menolongmu, janganlah lupa memberi nya upah, sebagai balasan atas kebaikannya. Dalam cerita ini upahnya yaitu pernikahan yang terjadi antara nabi Musa dengan wanita shalihah anak didikannya nabi Syuaib Alaihissalam. Dari sini kita bisa simpulkan bahwa sifat malu itu sudah ada pada diri nabi-nabi kita. Sehingga kita sebagai umatnya, jika merasa beriman maka kita seharusnya memiliki rasa malu itu. Tentu rasa malu itu perlu dipelihara dengan hati yang benar. Kita tahu di era sekarang wanita terlihat semakin tidak ada rasa malu ketika ia berani menari-nari di depan bukan mahramnya. Sebagaimana, salah satu tanda kiamat yaitu wanita tidak malu menari di depan yang bukan mahramnya.

Lalu bagaimana cara kita agar bisa memelihara rasa malu itu? Bagaimana memupuk sifat malu? Malu yang mesti diusahakan bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, merasa Allah dekat dengannya. Inilah tingkatan iman yang paling tinggi, bahkan derajat ihsan yang paling tinggi. Sifat malu bisa muncul pula dari Allah dengan memperhatikan berbagai nikmat-Nya dan melihat kekurangan dalam mensyukuri nikmat-nikmat Allah.

Perlu diketahui bahwa malu adalah suatu akhlak yang terpuji kecuali jika rasa malu tersebut itu muncul karena enggan melakukan kebaikan atau dapat terjatuh dalam keharaman. Maka jika seseorang enggan untuk melakukan kebaikan seperti enggan untuk nahi mungkar (melarang kemungkaran) padahal ketika itu wajib, maka ini adalah sifat malu yang tercela. Contohnya, ketika kita merasa malu untuk mulai belajar Quran. Tentu ini adalah perbuatan yang tercela. Mengapa? Belajar Al-Quran itu adalah wajib karena kita orang Islam. Kitab kita pun Al Quran, namun jika kita tidak mau belajar karena malu. Itu berarti kita bukan termasuk orang yang beriman terhadap kita suci kita yaitu Al Quran.

Oleh karena itu, kita tahu bahwa betapa pentingnya memiliki rasa atau sifat malu. Allah pun mengancam pada hambanya yang tidak memiliki sifat malu dengan membiarkan mereka untuk berbuat sesukanya. Tentu, ada akibat yang dirasakan di akhir nanti ketika seseorang itu lalai dalam memiliki sikap malu. Yang kedua yaitu, malu sendiri ialah penghalang untukmu melakukan kejelekan. Jadi, barang siapa yang tidak memiliki rasa malu, maka dia akan terjerumus dalam kejelekan dan kemungkaran. Wallahu’alam… Semoga kita yang membaca tulisan ini bisa mengaplikasikan sifat malu dalam hidup kita. Semoga kita menjadi salah satu orang yang beriman, yang terjaga hingga akhir kiamat nanti. Aamiin Yaa Rabbal Alamiin

Narasumber

Ust. Jufri Ubaid, S.Ag

chevron_left
chevron_right