Agar karakter kita menjadi lebih baik, kita dianjurkan membaca biografi orang-orang yang sudah wafat, karena mereka sudah aman dari fitnah. Di antara cara orang muslim ketika ingin mempelajari orang yang sudah wafat adalah mempelajari sirah Nabi ﷺ dan sahabat Nabi ﷺ, salah satunya Abu Darda’.
Profil Abu Darda’
Julukannya adalah penunggang kuda yang sangat hebat dan bijaksana. Nama asli Abu Darda’ adalah Uwaimir bin Zaid bin Qais al-Anshari al-Khazraji. Abu Darda’ termasuk sahabat Anshar yang terakhir masuk Islam. Sebelum memeluk Islam, Abu Darda’ adalah seorang pagan (penyembah berhala).
Kisah keislamannya diawali dengan kedatangan Abdullah bin Rawahah dan Muhammad bin Maslamah radhiallahu ‘anhuma ke rumahnya. Mereka datang tanpa sepengatahuannya. Mereka hancurkan berhala yang disembah Abu Darda’. Saat Abu Darda’ pulang, ia kaget. Ia pungut dan kumpulkan remukan berhala itu dan berkata, “Bodoh sekali kalian ini! Mengapa tidak kalian lawan! Mengapa tidak kalian bela diri kalian sendiri!” Ummu Darda’ menimpali, “Kalau mereka mereka bisa memberi manfaat dan menolak bahaya kepada orang lain, tentu mereka mampu melakukannya untuk diri mereka sendiri.”
Abu Darda’ berkata, “Tolong siapkan air di wadah mandi untukku. Siapkan juga pakaian dan perlengkapannya.” Setelah itu ia pergi menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melihat kedatangan Abu Darda, Abdullah bin Rawahah berkata, “Rasulullah, itu Abu Darda. Menurutku ia datang untuk menuntut balas kepada kami.” Nabi ﷺ menanggapi, “Kedatangannya untuk memeluk Islam. Sesungguhnya Rabku menjanjikan kepadaku bahwa Abu Darda akan memeluk Islam.”
Kedudukan Abu Darda’
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sebaik-baik penunggang kuda (kesatria) adalah Uwaimir.” Padahal, pada saat itu, rata-rata sahabat hebat dalam berkuda, tetapi perkataan Nabi ﷺ ini menunjukkan bahwa Abu Darda’ sangat hebat dalam menunggang kuda. Rasulullah ﷺ juga mengatakan, “Abu Darda’ adalah orang yang bijak dari umatku.”
Amal Abu Darda’
Abu Darda’ termasuk salah satu dari empat orang yang sudah hafal Al Quran secara keseluruhan di masa hidup Nabi ﷺ. Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Al Quran itu tidak dihafal kecuali oleh empat orang; Abu Darda, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid.”
Abu Darda’ bisa menjadi seperti itu karena didikan Nabi ﷺ. Rasulullah ﷺ banyak menasihatinya dengan sesuatu yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya. Seperti dalam sebuah riwayat dalam Shahih Muslim dari Abu Darda radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatiku dengan tiga hal. Ketiga hal ini tidak akan kutinggalkan selama aku hidup; puasa tiga hari setiap bulan, shalat duha, dan tidak tidur sebelum melakukan shalat witir.”
Di riwayat lain diceritakan bahwa Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu datang menemui Abu Darda radhiallahu ‘anhu. Umar mendorong pintu rumahnya, ternyata tak terkunci. Ia masuk ke dalam rumahnya yang gelap. Ia meraba-raba hingga tahu posisi Abu Darda. Ia sentuh bantalnya. Ternyata bantalnya adalah pelana kuda. Ia pegang selimutnya. Ternyata kain yang tipis. Umar kemudian berkomentar, “Bukankah kondisi kita sekarang lapang? Maukah kuberi bantuan?”. Maksud Umar, umat Islam sekarang berkecukupan tidak seperti di awal keislaman. Abu Darda menanggapi, “Ingatkah engkau sebuah hadits yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Umar bertanya, “Hadits yang mana?”. Abu Darda menjawab, “Hendaknya perbekalan kalian di dunia ini seperti bekalnya para musafir.”. Kata Umar, “Iya (aku mengingatnya).”. Kata Abu Darda, “Lalu apa yang kita perbuat sepeninggal beliau, Umar?”. Keduanya pun menangis hingga waktu pagi tiba.
Ilmu
Abu Darda’ memiliki ilmu yang banyak. Ketika Rasulullah ﷺ wafat, yang hafal Al Quran hanya empat orang. Dikisahkan dari Yazid ibn Umairah, ketika Muadz ibn Jabal sakaratul maut, ada orang bertanya kepada Muadz ibn Jabal, “Abu Abdurrahman, nasihatilah kami!”. Muadz ibn Jabal berkata, “Carilah ilmu di sisi Uwaimir (Abu Darda). Karena ia termasuk orang yang diberikan ilmu.”. Ketika menjadi gubernur Damaskus, Abu Darda’ ulama yang cerdas dan bijaksana
Kondisi Abu Darda’ bersama Allah
Dari Abu Darda radhiallahu ‘anhu, ia pernah shalat di akhir malam. Ia berkata, ‘Mata-mata telah terlelap. Bintang-bintang telah terbenam. Sementara Engkau (Ya Allah), terus-menerus mengurusi makhluk-Mu.”
Abu Darda radhiallahu ‘anhu berkata, “Mengucapkan Allah Akbar 100x lebih aku sukai daripada bersedekah 100 Dinar.” (Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, Hal: 70).
Saking takutnya, Abu Darda’ sangat takut dengan kemunafikan. Abu Darda’ berkata, “Tidaklah orang merasa aman dari kemunafikan kecuali dia munafik. Tidaklah orang merasa tidak aman dari kemunafikan kecuali dia mukmin.”
Abu Darda radhiallahu ‘anhu berkata, “Ada tiga hal yang membuatku tertawa dan ada tiga hal juga membuatku menangis. Yang membuatku tertawa adalah para pengharap dunia, padahal kematian selalu membuntutinya. Seorang yang lalai, padahal tak ada yang membuatnya lalai. Orang yang tertawa kencang, padahal dia tak tahu apakah Allah ridha atau murka padanya. Dan yang membuatku menangis adalah berpisah dari orang-orang tercinta, Muhammad dan sahabatnya. Kengerian saat sakaratul maut. Dan berdiri di hadapan Allah, sementara aku tak tahu apakah menuju surga atau neraka.”
Abu Darda’ memiliki unta dan ketika untanya mati, Abu Darda’ berkata kepada untanya, “Hai Damun, jangan nanti kau debat aku dengan permusuhan di hadapan Rabbku. Sesungguhnya aku tak pernah membawakan di atasmu sesuatu yang tak kau mampu mengangkatnya.”
Persaudaraan karena Allah
Abu Darda’ berusaha untuk gigih untuk menjaga persaudaraan, Abu Darda radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku berlindung kepada Allah menemui suatu hari yang di dalamnya aku tidak mengingat Abdullah bin Rawahah. Apabila menemuiku dari depan, ia terbiasa menepuk dadaku. Kalau menemuiku dari belakang, ia tepuk punggungku. Ia berkata, ‘Uwaimir, duduklah sebentar, marilah kita menambah iman’. Kami duduk lalu mengingat Allah. Lalu ia berkata, ‘Uwaimir, inilah majelis iman’.”
Saat ada yang berkata kepada Abu Darda, “Tidakkah kau membenci saudaramu (semuslim) karena telah berbuat maksiat demikian dan demikian”? Ia berkata, “Yang aku benci adalah perbuatannya, tapi ia tetap saudaraku. Namun memang, persaudaraan agama itu lebih kuat dibanding persaudaraan karena kekerabatan.”
Abu Darda radhiallahu ‘anhu berkata, “Sungguh aku mendoakan 70 orang saudaraku dalam sujudku. Kusebut namanya satu persatu.”
Semangat Abu Darda’ dalam Berdakwah
Abu Darda’ sangat bersemangat dalam berdakwah. Seorang dari Kabilah an-Nakha’ berkata, “Saat Abu Darda tengah sakaratul maut, aku mendengarnya berkata, ‘Aku sampaikan kepada kalian sebuah hadits yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Beribadahlah kepada Allah seakan engkau melihat-Nya. Kalau kau tidak mampu, maka sungguh Allah melihatmu. Siapkan dirimu pada kondisi sakaratul maut. Kemudian waspadalah terhadap doa orang yang dizalimi. Karena doanya tak terhalangi. Dan siapa yang sanggup untuk hadir di jamaah dua shalat; shalat isya dan subuh walaupun dalam keadaan merangkak, lakukanlah!’” [Hadits hasan Riwayat ath-Thabrani].
Kisah Abu Darda’ dengan Salman Al Farisi
Nabi ﷺ ketika hijrah dari Makkah ke Madinah, salah satu hal yang pertama kali dilakukan Nabi ﷺ adalah mempersaudarakan Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar. Abu Darda’ dipersaudarakan dengan Salman Al Farisi.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan sanadnya dari Aun bin Abu Juhaifah dari ayahnya, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan Salman dengan Abu Darda. Suatu ketika, Salman mengunjungi Abu Darda. Ia lihat Ummu Darda tampil kusut. Ia berkata, ‘Bagaimana kondisimu?’. Ummu Darda menjawab, ‘Saudaramu Abu Darda itu tak butuh lagi dengan dunia.’. Lalu Abu Darda datang. Ia membuatkan makanan untuk Salman. Lalu Salman mengatakan, ‘Makanlah!’. Abu Darda menjawab, ‘Aku sedang berpuasa.’. Salman berkata, ‘Aku tak akan makan sampai kau juga ikut makan.’. Abu Darda pun makan. Saat malam tiba, Abu Darda langsung bersiap untuk shalat malam. Kata Salman, ‘Tidurlah dulu.’. Ia pun tidur. Beberapa saat kemudian ia bangun untuk shalat. Salman kembali mengatakan, ‘Tidurlah.’. Saat akhir malam, Salman berkata, ‘Sekarang shalatlah.’. Lalu keduanya pun shalat. Setelah itu Salman berkata, ‘Sesungguhnya Rabmu memiliki hak atas dirimu. Dirimu juga memiliki hak atas dirimu sendiri. Demikian juga keluargamu memiliki hak atas dirimu. Berilah kepada setiap yang memiliki hak itu, haknya masing-masing.’
Kemudian, Abu Darda menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyebutkan apa yang diucapkan Salman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengomentari, ‘Salman benar’.”
Kisah Abu Darda’ dengan Ubay bin Ka’ab
Abu Darda radhiallahu ‘anhu bercerita, “Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atas mimbar. Beliau berkhotbah membacakan ayat. Di sisi beliau ada Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu. Aku berkata, ‘Hai Ubay, kapan ayat ini diturunkan?’. Namun Ubay tidak menanggapiku. Lalu kutanyakan kembali. Tapi ia juga tidak mau menanggapiku hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbar, barulah Ubay berkata, ‘Tidak ada bagian untukmu pada Jumatmu. Kecuali kesia-siaan.’.
Saat Rasulullah usai shalat, aku dekati dan kusampaikan ucapan Ubay tadi. Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, Anda tadi membaca ayat dan di sampingmu ada Ubay bin Ka’ab. Kutanyakan padanya, ‘Kapan ayat ini diturunkan?’. Namun ia tidak meladeniku. Saat Anda turun dari mimbar, ia mengatakan bahwa Jumatku sia-sia. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi, ‘Ubay benar. Jika kau mendengar imammu berkhotbah, diamlah. Sampai ia selesai khotbah’.” [HR. Ahmad 20780 dan Ibnu Majah 1111. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Tamamul Minnah, Hal: 338].
Abu Darda’ ketika Penaklukkan Cyprus
Jubair bin Nufair berkata, “Saat Cyprus ditaklukkan, penduduknya dipisah-pisahkan. Meeka saling menangisi. Saat itu kulihat Abu Darda sedang duduk sendiri dan menangis. Aku bertanya, ‘Abu Darda, apa yang membuat Anda menangis padahal hari ini Allah memulikan Islam dan pemeluknya?’
Ia menjawab, ‘Celaka engkau, Jubair! Betapa hina seorang di sisi Allah apabila mereka meninggalkan apa yang Dia perintahkan’.”
Wafatnya
Abu Darda’ wafat pada 32 H di Kota Damaskus, tetapi ada yang mengatakan 31 H. Di antara hadits yang diriwayatkan Abu Darda’ adalah sabda Nabi ﷺ, “Siapa yang menghafal sepuluh ayat dari awal surat Al-Kahfi akan mendapat perlindungan dari Dajjal.” [HR. Muslim 809].
Diriwayatkan oleh at-Turmudzi dengan sanadnya dari Abu Darda radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang diberikan keberuntungan memiliki sifat lemah lembut, maka sungguh dia telah diberikan kebaikan. Siapa tidak diberikan keberuntungan memiliki sifat lemah lembut, dia sungguh telah dihalangi dari kebaikan.” [Shahih, di dalam kitab Ash-Shahihah (519,876)].
Closing Statement
Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Abu Darda’ adalah karena Abu Darda’ seorang penunggang kuda, kita sebagai remaja seharusnya belajar berkuda dan memanah mengingat sekarang akhir zaman. Karena Abu Darda’ termasuk salah satu sahabat yang hafal Al Quran, maka ini menjadi pengingat kita bahwa jangan sampai kita tidak bisa membaca Al Quran. Selain itu, sebagaimana Abu Darda’ memperbaiki kondisinya kepada Allah, maka sebaiknya kita juga memperbaiki kondisi kita kepada Allah, takutlah kepada Allah.
Kegigihan Abu Darda’ dalam berdakwah juga patut kita contoh, karena ketika sakaratul maut sekalipun, Abu Darda’ masih berdakwah dan menyampaikan hadits dari Rasulullah ﷺ. Dari kisah penaklukkan Siprus juga mengingatkan kepada kita bahwa kemaksiatan adalah sebab kelemahan kaum Muslimin. Yang terakhir, sebagaimana Abu Darda’ dididik langsung oleh Rasulullah, maka dapat kita ambil pelajaran bahwa jika kita ingin mengkader orang, kaderlah sebagaimana Rasulullah ﷺ mengkader sahabat.
Referensi tambahan: https://kisahmuslim.com/6550-abu-darda-orang-bijaknya-umat-ini.html