Turki memiliki sejarah yang panjang dalam konteks kepemimpinan, mulai dari Daulah Islamiyah yang dipimpin oleh Sultan Muhammad Al Fatih (1425-1924), berlanjut menjadi sebuah negara yang sekuler di bawah kepemimpinan Kemal Attaturk pada tahun 1924, dan kini Turki menjadi sebuah negara Demokrasi Konservatif dibawah kepemimpinan Recep Tayyib Erdogan dengan partainya Adelet ve Kalkιnma Partisi (AKP). Banyak hal yang penulis kagumi terhadap negara Turki, salah satunya adalah sejarah dan geopolitik yang tengah terjadi di negara Turki. Berpuluh-puluh tahun Turki telah menjadi negara sekuler, negara yang jauh dari kata agama, negara yang penuh dengan kebebasan moral. Namun semua keadaan tersebut berubah pada tahun 2001, muncul sesosok Erdogan yang menjadi salah satu founding father Partai Adelet ve Kalkιnma Partisi (AKP) dengan dua veteran lain dari Partai Kesejahteraan, Abdullah Gul dan Bulent Arinc. Ketiga orang ini memiliki karisma, dan mendapat dukungan dari jantung Anatolia Turki. Platform dari partai ini adalah integrasi Eropa dan perlindungan kebebasan beragama. Tentu hal ini menggiurkan bagi orang-orang saleh Turki, dan menunjukkan bahwa demokratisasi adalah demi kepentingan orang Turki yang konservatif. Hanya membutuhkan waktu satu tahun saja setelah partai dibentuk, untuk pertama kalinya Partai AKP berhasil memenangkan pemilu pada tanggal 3 November 2002 dengan perolehan suara nasional sebanyak 34%. Dan Sedangkan rival terberat dari AKP hanya memperoleh suara nasional sebanyak 19%, yakni partai Cumhuriyet Halk Partisi (CHP). Kemenangan ini dapat diraih karena Partai AKP memiliki karakteristik partai yang lebih moderat, sehingga dapat menyesuaikan dengan kultur demokrasi militeristik, dan juga pemakaian politik identitas (Islam) yang menjadi sebuah nilai tambah bagi partai ini untuk berkuasa. Dibawah pemerintahan AKP, Turki kini menjadi sebuah negara yang memiliki digdaya dalam merespon segala isu internasional. Selain itu, Turki mampu menentukan kebijakan politik luar negeri yang berhasil menciptakan equilibrium di Timur Tengah, sehingga tidak mudah diintervensi negara-negara barat maupun timur. Kekuatan kebijakan Internasional yang diterapkan Turki tidak lepas dari peranan Partai Politik yang lebih modern dibandingkan Partai Politik di beberapa Negara Asia. Partai AKP, juga terlibat andil dalam penyelesaian konflik internasional, walaupun tidak secara langsung mereka yang memutuskan kebijakan. Mereka hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk menentukan langkah yang diambil oleh Erdogan dalam menyelesaikan konflik Internasional. Artinya, partai politik memilki inisiatif untuk mengerahkan kemampuannya dalam merumuskan kebijakan sebagai wujud kemandirian partai politik, sebab partai politik tidak bergantung pada pada kekuatan satu figur.
Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia di tengah pusaran konflik elit seperti sekarang, sudah saatnya para politisi kita mulai memikirkan dan mengupayakan modernisasi partai politik. Ada beberapa karakteristik partai modern yang sebaiknya diadopsi oleh partai-partai di Indonesia berkaca dari Turki. Pertama, meminimalisir kekuatan rujukan (referent power). Tak disangkal bahwa setiap partai memiliki figur atau tokoh simpul. Namun, ketergantungan yang berlebihan terhadap figur dapat mengundang budaya feodal dan sistem dinasti politik. Jika aturan organisasi dan keterpilihan sumber daya manusia selalu menggantungkan kekuatannya pada satu figur dan garis keturunannya, maka tentu partai bersangkutan tidak akan pernah menjadi partai modern. Kedua, partai modern dibangun melalui kemampuan anggotanya untuk melakukan proses refleksivitas. Partai memfasilitasi anggota organisasinya mampu melihat ke masa depan dan membuat perubahan-perubahan di dalam struktur atau sistem jika diprediksi hal-hal tertentu tak bisa berjalan. Dengan demikian, partai modern adalah partai yang progresif dalam beradaptasi dengan situasi dinamis, bukan partai yang terjebak dalam gejala groupthink. Ketiga, partai modern harus mau dan mampu menjalankan fungsi-fungsi partai. Di antara fungsi-fungsi penting itu adalah menjadi saluran agregasi politik, pengendalian konflik dan kontrol. Partai dapat menjadi saluran tepat saat konflik muncul dan eskalatif, sekaligus menjadi pengontrol yang efektif dalam proses konsolidasi demokrasi dan pelembagaan politik.
Penulis
Ramadhan Pambayung Khalfani
Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas Airlangga